Diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU Jasa Konstruksi” di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/05/2016)

Sertifikat Jasa Konstruksi Indonesia Tak Diakui di Asean

JAKARTA (suaralira.com) - Kalangan DPR mengungkapkan kualitas tenaga kerja alias SDM Indonesia khususnya untuk jasa konstruksi belum diakui di luar negeri. Karena itu mayoritas tenaga jasa konstruksi Indonesia masih menggunakan sertifikat versi Singapura dan Malaysia. 
Persoalan ini menjadi pokok masalah yang sedang dibahas DPR bersama pemeritah dalam menyusun dan merumuskan RUU Jasa Konstruksi. “Kita sudah mengeluarkan sekitar 118.000 sertifikat, tapi ternyata tak diakui di Asean,” kata anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU Jasa Konstruksi” di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/05/2016).
 
Bahkan, dalam perkembangannya saat ini, Nizar menduga kualitas SDM jasa konstruksi dan hasil pembangunan infrasktrukturnya makin lama justru makin buruk. Zaman reformasi ini malah lebih rusak lagi. “Dulu zaman orba, kualitas jalan cukup kuat daya tahannya. Nah, sekarang coba saja lihat, kita sudah semuanya,” jelasnya.
 
Menurut Nizar, RUU Jasa Konstruksi yang sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah akan disahkan pada Juni 2016 mendatang. Hal itu terdorong oleh perkembangan jasa konstruksi yang makin banyak sejalan dengan pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi.
 
Keberadaan RUU ini, sekaligus untuk menghindari kriminalisasi jasa konstruksi, karena UU No.18 tahun 1999 belum bisa memenuhi tuntutan kebutuhan dan dinamika penyelenggaraan dan usaha Jasa Konstruksi. “Dalam RUU Jasa Konstruksi ini setidaknya ada tigal hal penting; yaitu Badan Sertifikasi, kriminalisasi dan Usaha Jasa Konstruksi. RUU ini terdiri dari 114 Bab dan 900-an daftar inventarisasi masalah (DIM), dan akan segera disahkan pada Juni mendatang,” imbuhnya.
 
Sertifikasi itu, kata Nizar  sangat penting, karena sebelumnya hanya registrasi, sehingga tidak terkontrol dengan baik. Untuk itu pula, maka wajar jika muncul skandal “Panama Papers”. “Sertifikasi yang ada tanpa ada lambang Garuda pun ditolak di oleh Singapura, Malaysia dan negara lain. Di Timur Tengah banyak konraktor dari Indonesia, tapi ketika terjadi masalah, Paspor Indonesia yang dipakai. Itu tak bisa dibiarkan,” ujarnya.
 
Sedangkan kriminalisasi jasa konstruksi menurut Nizar Zahro, sering terjadi masalah antara pengusaha di pusat sampai daerah dengan pejabat sampai ke pengadilan. Sebab, dalam kontrak kerjanya hanya foto kopi (copy paste), sehingga aparat kepolisian dan kejaksaan banyak terlibat. 
 
“Jadi, kalau perjanjian kontrak itu perdata, ya perdata. Jangan dibawa ke pidana. Sehingga diperlukan Badan Sertifiaksi Jasa Konstruksi (BSJK). Padahal hasil pembangunan semasa Orde Lama dan Orde Baru baik-baik dan berkualitas, tapi pasca reformasi mengecewakan,” ujarnya.
 
Direktur Lembaga Sumber Daya dan Jasa Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Yayat Supriyatna menjelaskan pada prinsipnya kata Yayat, UU ini melindungi jasa profesional dan dipertanggungjawabkan, karena mempunyai keahlian tertentu. Untuk itu diperlukan sertifikasi melalui Badan Sertifikasi yang lebih independen daripada dilakukan pemerintah. Hanya saja dalam badan itu terdiri dari berbagai unsur asosiasi, masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
 
Sedangkan standar konstruksi adalah kalau Indoensia kerjasama dengan Amerika Serikat, maka kesepakatannya dengan Amerika, kalau dengan British kesepakatannya dengan British, dan seterusnya. Hal itu juga sama dengan BSN (Badan Standarisasi Nasional). “BSN itu termasuk perjanjian kontrak,” ungkapnya. (bs/sl)