JAKARTA, SUARALIRA.com - Aksi-aksi diskriminatif atas nama ikatan primordial seperti suku,agama, ras dan golongan sebenarnya tidak lagi relevan ketika dibenturkan dalam konsep berbangsa dan bernegara.
Loyalitas primordial hendaknya sudah berubah menjadi loyalitas nasional ketika bersepakat membentuk negara. Kesadaran kebangsaan yang mengkristal yang lahir dari rasa senasib sepenanggungan.
Akibat penjajahan, telah berhasil membentuk wawasan kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928, yaitu bertekad bertanah air satu, berbangsa satu dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Tekad bersatu ini kemudian dinyatakan secara politik sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menegaskan negara yang kita bentuk adalah Negara Semua Untuk Semua bukan Negara Untuk Satu Golongan.
"Saya sangat menyayangkan dalam situasi bangsa yang tengah menghadapi propaganda anti SARA seperti ini, banyak elite politik tidak mau lagi bicara dan memberi teladan tentang nilai-nilai 4 Pilar sebagai konsensus dasar berbegara kita, " ujar Achmad Basarah dalam ceramahmya pada acara Sosialisasi 4 Pilar MPR RI dgn PGRI Kota Bogor di Gedung Universitas Terbuka Jln KH. Soleh Iskandar, Kota Bogor pada Hari Selasa (25/10/2016).
Terkait hal itu, Basarah mengusulkan kepada Pimpinan MPR untuk mengambil prakarsa dan mengajak pimpinan lembaga-lembaga negara dan pimpinan partai politik serta ormas-ormas sosial keagamaan untuk duduk bersama, melakukan rembug nasional. Langkah rembug nasional bertujuan untuk menghentikan segala macam pertentangan dan propaganda SARA karena situasi semacam ini sungguh-sungguh telah mengancam keutuhan dan keberlangsungan hidup NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Menurut Basarah, salah satu moment yang sering membuat elite politik melupakan konsensus nasional nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika adalah pada setiap moment Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Sebagai contoh, pada Pemilihan Presiden tahun 2014 lalu, elite politik dan berbagai kelompok masyarakat banyak yang terjebak mengkampanyekan isu anti SARA atau setidak tidaknya mendiamkan kampanye anti SARA tersebut terjadi.
"Demikian juga kita perhatikan dalam pilkada DKI Jakarta, isu tentang anti SARA mendominasi seputar pemilihan Cagub dan Cawagub DKI daripada kompetisi gagasan dan program untuk membangun kota Jakarta, " kata politisi PDI Perjuangan itu.
Padahal lanjut Basarah, konsensus dasar yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila sudah sangat jelas bahwa dalam negara Pancasila tidak boleh ada ketidakadilan yang bersifat diktator mayoritas ataupun tirani minoritas. Juga mengenai segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan telah dijamin pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yg dilaksanakan dalam rangka menegakkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. (bbg/sl)