JAKARTA (suaralira.com) - Komisi VII DPR RI mendesak pimpinan DPR untuk segera memparipurnakan revisi UU No.22 tahun 2001 tentang Migas mendapat persetujuan membahas tata kelola RUU Migas, meskipun saat ini posisi revisi UU Migas yang diajukan oleh Komisi VII, belum dibahas di Badan Legislasi (Baleg).
Setelah memperoleh persetujuan di paripurna, tahapan berikutnya adalah pembahasan di Panja atau Pansus dan disampaikan ke Presiden RI.
"Kalau diajukan pada Januari, maka harus dimulai dibahas pada September 2016 mendatang, karena pengajuan itu tidak boleh lebih dari dua kali masa sidang," kata Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha dalam diskusi ‘Revisi UU Migas’ bersama Ario Joyohadikusumo (Gerindra), pakar ekonomi UI Faisal Basri, dan Sampe L. Purba dari SKK Migas, di Media Center DPR RI, Senin (28/11/2016).
Menurut Satya Yudha, pengelolaan Migas itu akan melibatkan pemerintah, BUMN nasional maupun lokal (BUMD) dan Internasional dan yang melekat pada pengelolaan Migas tersebut adalah mineral yang harus dikuasai oleh negera. Lalu, penambangan dan tata kelola pelaksanaan penambangan itu sendiri.
Karena itu penambangan harus berpijak kepada UUD NRI 1945 khususnya pasal 33 dimana Mahkamah Konstitusi (MK) telah memerintahkan tidak boleh diserahkan ke mekanisme pasar bebas, pengelolaan diganti menjadi pengeluaran izin demi kedaulatan negara. “Jadi, posisi RUU Migas ini masih pada menselaraskan 48 pasal antar fraksi-fraksi DPR RI,” ujarnya.
Sedangkan Ario mengatakan adalah bagaimana BUMN (Pertamina) itu menjadi ujung tombak perekonomian nasional. Sejalan dengan pasal 33 UUD NRI 1945 harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "Kini fungsi SKK Migas dikembalikan ke Pertamina, karena beberapa kesalahan di masa Orde Baru dulu, " katanya politisi Gerindra itu.
Faisal Basri menegaskan jika masalah Migas itu ada di hulu dan hilir dan tanpa landasan hukum yang kuat. Sehingga lahir akrobat kebijakan yang ada di industry alam itu. Hanya saja tantangan di hulu itu tidak mudah. “Luhut Panjaitan dan Jusuf Kalla saja mau impor gas. Sementara cadangan gas kita hanya tinggal 37,8 tahun dan BBM tinggal 12 tahun lagi,” jelasnya.
Kondisi itulah kata Faisal, sehingga selalu ada alasan untuk impor. Apalagi melibatkan BUMD, yang sudah dikuasai oleh cukong-cukong. Misalnya ada Surya Paloh, Aburizal Bakrie (ARB) dan lain-lain.
Sementara itu Pertamina tak lagi boleh menjadi regulator, tapi operator. Dimana 85 % dikuasai negara dan 15 persen untuk kontraktor. “Ini yang harus dijaga agar kekayaan negara itu benar-benar untuk kemakmuran rakyat,” katanya.
(bbg/sl)