JAKARTA, suaralira.com - Potensi benih lobster di Indonesia dalam 1 tahun mencapai angka 850 miliar ekor, meski ada memang yang mengatakan 100 miliar benih lobster. Angka itu pasti realistis, karena satu indukan lobster mutiara dapat menghasilkan 2,5 juta ekor benih, sedang lobster pasir dapat menghasilkan 500.000 ekor benih.
Demikian dikatakan Willy dari PT Samudera Bahari Sukses (SBS), di Jakarta, Selasa (2/12/2020) kemarin dilansir dekannews.com, sebagaimana melanjutkan perkataan pakar komunikasi politik Effendi Gozali pada saat mengikuti webinar Rembug Nasional bertajuk "Stop atau Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster, Minggu (30/11/2020) lalu.
Dikatakannya, para eksportir minta pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat regulasi tentang harga batas atas dan batas bawah benih Lobster. Eksportir benih bening lobster (BBL) berharap KKP membuat regulasi yang dapat membuat aktifitas bisnis di bidang ini menjadi kian bergairah.
Pasalnya, bisnis ekspor benih lobster (benur) memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menambah pemasukan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tukasnya.
"Saat saya mengikuti webinar Rembug Nasional kata Willy, bertajuk 'Stop atau Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster,' pakar komunikasi politik Effendi Gozali mengatakan kalau hasil penelitian Badan Riset KKP pada tahun 2019, saat jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan masih Ibu Susi Pudjiastuti, pada bab 5 halaman 28 buku hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa potensi benih lobster di Indonesia dalam 1 tahun mencapai angka 850 miliar ekor. Meski ada memang yang mengatakan 100 miliar benih lobster."
Dari total luas wilayah Indonesia yang mencapai 7,81 juta km2, seluas 3,25 juta km2 di antaranya adalah lautan. "Jadi, saya sendiri (Willy-red) sebenarnya tidak sepakat kalau ekspor benur dilarang dengan alasan bisa habis. Karena pada 2016 ekspor benur ke Vietnam hanya sekitar 120 juta ekor, sedang pada tahun ini, sejak Juni hingga akhir November baru 40 juta ekor," katanya.
Tidak ada jaminan kalau ekspor tidak terjadi karena saat ekspor BBL dilarang oleh Menteri Susi, menurut Effendi Gazali dalam webinar diulangi Willy, pengusaha di Singapura mengaku tetap menerima BBL dari Indonesia. Sebaliknya, bila kran ekspor benih lobster tetap dibuka, maka hal ini dapat memberikan sumbangan yang besar bagi Pemerintah Indonesia.
Dimana nelayan pencari lobster dapat tetap survive, dan pemerintahpun mendapat pemasukan dari izin-izin yang diurus, serta dari pajak, karena untuk ekspor BBL, pengusaha membayar PNBP. "Tak hanya itu, budidaya lobster juga akan berkembang di Indonesia," imbuhnya.
Willy mengakui, kesulitan yang selama ini dihadapi pengusaha dalam ekspor BBL adalah tidak adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang harga batas minimal dan maksimal. Penjualan benih Lobster dari nelayan kepada eksportir, dan tak adanya penetapan harga batas bawah dengan grading terjelek (gading bad) BBL dari pengusaha kepada pembeli di Vietnam.
Ketiadaan regulasi ini membuat eksportir kerap mengalami kerugian, karena eksportir umumnya mendapatkan benur dari pengepul, bukan dari nelayan secara langsung. Sehingga harga yang didapat sudah sangat tinggi dan rawan dipermainkan oleh para pengepul tersebut.
"Risiko menjadi semakin besar karena saat tiba di Vietnam, ada saja benur yang mati, sehingga kapasitas benur yang diekspor berkurang karena yang dihitung hanya yang masih hidup," katanya menjelaskan.
Pengusaha muda ini mengakui, sebagai pengusaha baru di bidang ekspor BBL, ketiadaan regulasi itu sangat terasa, karena sejak Juni 2020 lalu dirinya telah puluhan kali melakukan ekspor ke Vietnam, dan pada ekspor pertama hingga kelima ia rugi besar. "Ekspor yang pertama saya rugi sekitar Rp140 jutaan, ekspor kedua dan ketiga Rp50-60 jutaan," katanya.
Ia mengakui, selain ketiadaan regulasi itu dan banyaknya benur yang mati saat tiba di Vietnam, ada beberapa aspek lain yang dapat menimbulkan kerugian. Antara lain, keterlambatan pesawat yang menerbangkan benur ke Vietnam, harga jual di Vietnam yang tiba-tiba turun, selisih harga pembelian dan penjualan yang tidak tetap, adanya grading klasifikasi BBL, dan pembayaran cargo dan PNBP yang harus sesuai dengan pengeluaran SPWP.
Sementara itu, Sekjen DPP Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Budi Siswanto kepada suaralira.com dalam realisnya Kamis (03/12/2020) mengatakan, pihaknya mendukung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membuat regulasi yang berpihak. Keberpihakan ini juga sebagai pemasukan tambahan dari sektor ekportir untuk negara.
Diminta, agar pihak KKP turun tangan dengan membuat regulasi yang menetapkan harga batas bawah dan batas atas pembelian BBL dari nelayan kepada perusahaan eksportir. Serta menetapkan harga batas bawah dengan grading terjelek benih lobster dari pengusaha kepada pembeli di Vietnam, tukas Budi.
Selain itu harapan pengusaha ekportir Willy tersebut membuat kepedulian LIRA turut menghimbau sebagaimana disebutkannya, agar pemerintah melalui KKP menetapkan disparitas selisih harga antara maksimum penjualan dari nelayan dengan harga batas bawah grading black/bad penjualan ke Vietnam. Tentunya ini harga dapat dikontrol dan tidak dipermainkan sesukanya."
Dukungan kepada KKP ini untuk membuat regulasi yang berpihak tersebut agar di lapangan tidak terjadi monopoli. Sama juga dengan Peraturan Menteri (Permen) terkait jangan dikemudian menjadi masalah karena pada pelaksanaannya diduga terjadi monopoli atau hanya menunjuk satu perusahaan cargo yang digunakan para eksportir untuk mengirimkan benur ke Vietnam, ujarnya mengulangi harapan Willy yang dilansir dekannews.com beberapa hari lalu,“ tutupnya. (dn/ realis/ sl)